Total Tayangan Halaman

Senin, 20 Desember 2010

Selalu akan Menjadi Riani (ku) (Part III)

Percayakah kalian karma itu ada? Aku ?? Jelas tidak. Dan taukah kalian bawah lelaki sulit melupakan cinta pertamanya ? Tidak bermaksud membuat semuanya jadi subjektif dengan menilai sesuatu hanya dari cerminan kejadian yang melandaku.



Sejak pertemuan yang tak disengaja di salon itu, beberapa kali kusambangi rumah Riani. Rumah sebesar itu dia huni sendirian. Tidak ada tanda-tanda Riani sudah menikah, minimal tak ada foto pernikahan. Ternyata sekarang gadis bermata bundar itu bekerja sebagai fotografer tetap di perusahaan periklanan. Tak ada lagi kamera analog jadul peninggalan almarhum ayahnya. Berganti berbagai macam kamera profesional canggih dengan resolusi tingkat tinggi yang entah apa jenisnya, sudah kuberitahu kan kalau aku tak mengerti dunia persilatan perfotografian secuilpun.

Aku sering menemuinya atas saran seorang teman, saat kau sudah mentok tidak bisa melupakan seseorang, sering saja bersamanya agar kau bosan. Tampaknya jurus ini ampuh selama aku kuat hati untuk tidak bertanya, apakah selama 3 tahun terakhir ini, dia pernah melewati sehari saja tanpa mengingatku. Selama aku kuat untuk tidak berkata bahwa aku mencintainya, ketika dia menegaskan aku adalah temannya. Tidak, tidak, aku sudah punya Dita, Riani bukanlah apa-apa sekarang. Tenangkan hati !!

Tetap saja, masih tak menentu perasaanku. Sebagian diriku ingin merelakannya, tetapi sebagian lagi berontak tak ingin melepaskannya. Untuk mengatakan yang sebenarnya, aku takut melukai Dita. Lebih takut lagi Riani marah, itu akan membuatku melukai diri sendiri. Semuanya harus dibuat lebih jelas dan lebih pasti. Dan kuberanikan diri bertanya, sambil menegar-negarkan hati. Hanya ada dua pilihan, akan kuperjuangkan atau kulepaskan sama sekali.

Kuajak ia menepi dari segala hiruk pikuk pekerjaan dan bisingnya perkotaan. Menikmati temaram langit sore di pinggir danau buatan.

“Ri, aku tidak bisa seperti ini selamanya”, sebenarnya daripada tegas, suaraku sebenarnya lebih keras.

Pandangannya beralih padaku, “Maksudmu apa?”, agak kaget.

“Maaf kalau ini mengejutkan, tapi bagiku ini penting”, aku diam sesaat dan Riani kembali memusatkan perhatian pada danau.

“Ri, pernahkah sehari saja dalam hidupmu, sejak kita saling mengenal, kau tidak memikirkanku ? Adakah hari dalam hidupmu, dimana kau melupakanku ?”

Riani tersentak menatapku, aku menahan napas menunggu reaksinya.

“Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan. Menurutku sudah lama kita saling melupakan. Aku tidak melihat gunanya memutar masa lalu kembali ke hadapan kita”

“Ya, aku tahu. Aku hanya tidak ingin mengacuhkan setiap kemungkinan. Aku hanya ingin kau tau, kau tidak gampang kulupakan”, suaraku berbisik pelan.

Kalimat terakhirku sia-sia, Riani sudah melenggang pergi. Sebagian diriku lega, sebagian lagi luka.

Lambat laun pun kupaksa diri menelan kenyataan, bahwa cinta pertama tidak selamanya berakhir bahagia. Cinta pertama bahkan butuh banyak warna selain merah muda, kadang perlu jingga, kadang kelabu dan tak jarang hitam gulita. Hal yang masih sulit kuterima bahwa cinta begitu menyakitkan ketika orang yang kucintai tak pernah bisa kumiliki. Saat lelaki itu bersamanya, pedih hatiku. Aku merasa Riani lebih baik ketika di tanganku. Lelaki itu yang sekarang merebut hatinya.

Tiba waktunya fokus pada diriku sendiri. Sudah habis dongeng cinta pertama, aku harus kembali ke dunia nyata, karena Riani kini juga sibuk dengan dunianya. Tanggal pernikahanku dan Dita sudah ditetapkan, tak banyak pernak-pernik dan kericuhan yang mewarnai. Keluargaku jauh di seberang pulau, mereka seutuhnya menyerahkan padaku. Dita, hanya punya seorang kakak dan adik yang tinggal terpencar. Hubungan mereka tidak terlalu harmonis, entah kenapa. Kakak Dita tak sempat kutemui, hanya diberitahu lewat telepon karena sedang di luar kota. Dia hanya terdiam dan mau tak mau menyetujuinya. Dari dulu pun Dita sudah bilang bahwa dia berhak atas hidupnya sendiri, karena dia juga yang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Tak banyak yang dia ceritakan tentang keluarganya, dia enggan berbicara setiap kutanya.

Dalam hitungan mundur, kurang dari seminggu lagi tibalah waktunya. Terlintas begitu saja, Riani berhak tau, dia kan temanku-masih perih kata-kata itu di kupingku. Aku berencana memakainya untuk menjadi fotografer di pernikahanku nanti. Kusambangi kantornya, persis di sebelah studio tempat Dita biasa dipotret. Kagetnya aku, aku sama sekali tidak memperhatikan nama dan alamat studio itu, sama dengan kantor Riani ! Mungkinkah mereka berteman ? Bertanya-tanya benakku, kulangkahkan juga kaki pelan bercampur ragu.

Masuk ke ruangan Riani, lebih terperanjat lagi. Benar saja, Dita di sana. Sama terperanjatnya. “Alvin, baru mau kutelepon, ah, tepat sekali waktunya”

Belum sempat kujawab, karena kulihat wajah Riani sama terperanjatnya dan bergumam “Al, Alvin”

“Iya, ini Alvin yang sering kuceritakan, yang nelpon waktu Kak Riani di luar kota”

Ternyata lebih buruk dari yang kuduga. Riani, bukan sahabat Dita, memang mereka rekan kerja, satu fotografer dan satu lagi modelnya. Satu kakak dan satu lagi adiknya. Apa sebenarnya yang terjadi padaku. Garis hidup mempermainkanku dengan lelucon yang sama sekali tidak ingin kutertawakan di titik ini. Mengapa semuanya baru terungkap setelah semua kegilaan ini kulewati. Setelah kupikir aku berhasil membangunkan diri dari segala yang membutakan. Dan kini betapa kasihannya aku, terjebak diantara dua saudara. Karena kebodohanku sendiri yang banyak cuek dan tak peduli. Tak ambil pusing ketika memilih Dita karena matanya mirip Riani, jelas karena mereka bersaudara. Terlintas di pikranku saja tak pernah. Tak ambil pusing ketika Dita tidak mempertemukan aku dan keluarganya. Tolol !

Sekali lagi maafkan aku yang pelupa, namaku saja lupa kuperkenalkan. Hai, aku Alvino, Dita memanggilku Alvin dan Riani biasa memanggilku Vino. Besar kemungkinan mereka tak akan sadar telah membicarakan orang yang sama, walaupun mungkin telah bercerita beribu-ribu kali.

Dita mendadak berang dan menuding-nuding Riani tajam “Tidak !! Tidak akan pernah aku menikahi orang yang masih dicintai kakak kandungku”

“Riani tidak salah, aku yang mencintainya”

“Sudah cukup kakak merebut semuanya dariku. Ayah, Ibu dan sekarang bahkan pilihan hatiku”

Aku tidak bisa lagi melihat luka di mata Riani. Selalu aku yang membuatnya begitu. Dan kali ini, lagi, Dita pergi, juga Riani. Sudahlah, tak akan lagi kujatuhkan hati pada perempuan manapun. Perempuan yang kucintai itu namanya Riani. Perempuan lain yang coba kucintai namanya Dita. Mereka berdua bersaudara. Dan dua-duanya berlalu dariku begitu saja. Tak ada Riani, tak ada gadis lainnya. Jika dia bukan Rianiku, aku bukanlah siapa-siapa. You see, the greatest pain that comes from love is loving someone that you can never have !! I can never have..

Tetapi, selamanya dia akan menjadi Rianiku, tentu saja bagiku..

Jogja-Desember 2010.

_menikmati sekali mengatur hidup orang sesuai keinginan_

published also in : facebook.com/yunriska.rona

Tidak ada komentar:

Posting Komentar