Total Tayangan Halaman

Senin, 08 Agustus 2011

Nyamuk Nakal

“Cicak” suara jahil itu mampir di telingaku. Tanpa peduli aku melangkah terus ke pintu gerbang.

“Cicak, tunggu !” kali ini suara itu lebih keras membuat langkahku tertahan.

Dengan napas sesak karena berlari, pemilik suara itu berdiri di sampingku. “Selamat siang cicak” sapanya.

“Siang juga, eh...tadi kamu bilang namaku apa ? Cicak ? Enak aja ! Udah berjuta-juta kali kubilang namaku Chica, bukan cicak !”.

“Terserah deh, nama kamu siapa, tidak ada bedanya bagiku. Kamu tetap cicak yang sering mengganggu malam-malamku. Cicak mungil yang sering hadir di mimpiku. Cicak lucu yang sekarang ada di hadapanku” dia tersenyum menatapku.

“Sinting. Jangan sembarangan ngubah nama orang. Kamu pikir enak apa namamu diganti jadi nama hewan” tudingku.

“Kalau cicak yang ganti sih nggak apa-apa” dia tersenyum jahil dan membuatku semakin tak betah.

“Oke, kamu ku kasih nama nyamuk. Biar ku makan dan nggak ngaco lagi” aku segera melengos pergi darinya dan bergegas pulang.

“Makasih ya namanya” teriaknya di belakangku.

Grrrhh !! Dasar gila, umpatku dalam hati.

Entah siapa dia. Sejak masuk SMA ini 7 bulan yang lalu, dia sering menjahiliku. Selama 7 bulan aku bertahan dipanggil cicak. Dan sekarang aku benar-benar muak. Menyebalkan sekali, dia tau semuanya tentangku, padahal aku tidak tau apapun tentangnya, selain namanya Ferdi, anak kelas sebelah. Cuma itu info yang ku tau, selebihnya aku tidak peduli.

Sudah seminggu aku ribut dengan nyamuk usil itu. Aku sudah bilang jangan menggangguku tapi dia tetap bandel. Saking kesalnya, kumarahi habis-habisan, aku sudah tidak bisa mengontrol emosiku sendiri. Mungkin karena kaget meilhat perubahan sikapku, dia sekarang menjauh, berpapasan denganku saja dia akan mengambil jalan lain. Ah, sudahlah. Seharusnya sekarang aku merasa senang, tetapi rasanya seperti ada yang hilang. Aku bukan tipe orang yang bisa bermusuhan dan menyimpan dendam. Membuatku hidup tidak tenang. Maka kuputuskan untuk menunggunya di gerbang sekolah siang nanti.

Saat itu aku sudah siap mempraktekkan rangkaian kata-kata damai yang sejak kemaren kuhapalkan. Dari jauh kulihat wajah usilnya berjalan cepat di bawah terik matahari. Matanya tak sengaja bertemu mataku, dia membuang muka.

“Dasar menyebalkan” gumamki.

Tepat di depanku dia berhenti sambil bersiul-siul. Haish, makhluk ini sungguh membuat stok kesabaranku habis. Dia sadar aku menunggunya, dia di atas angin sekarang. Kuharap angin itu yang akan menjatuhkanmu sampai tersungkur lagi ke bumi.

“Bisa bicara sebentar” kurendahkan suara. Dia tampak kaget tapi segera mengangguk.

“Nggak di sini, di seberang jalan aja” aku menunjuk ke bawah pohon di pinggir jalan. Dia mendahului berjalan, sementara aku bernapas lega karena dia menuruti kemauanku. “Kamu benar-benar butuh bicara denganku ?” dia menunjuk hidungnya sendiri. Suaranya terdengar lebih dewasa dibanding biasanya.

Aku mendesis. “GR”.

“Toh kenyataannya begitu” dia menoleh padaku.

“Udah. Jangan dibahas lagi. Sebenarnya aku cuma pengen baikan” aku menoleh untuk memastikan dia mendengarku. Sesaat dia menatapku tidak percaya, kemudian detik berikutnya matanya berbinar senang. Kilauan di mata itu menunjukkan sisi lainnya yang selama ini tidak kusadari, mempesona. Attchh, apa yang sedang kupikirkan, kugeleng-gelengkan kepala sambil merutuk dalam hati. Untunglah saat itu dia sudah mengalihkan mukanya ke arah lain.

“Memangnya selama ini kita musuhan sampai harus baikan segala ?”

Eng, kali ini aku yang menatapnya tak percaya. “Memangnya pikirmu kita punya hubungan baik ?”

“Kalau begitu, kita punya hubungan apa ?”

Aku membulatkan mataku dan menatapnya lurus-lurus sambil berkacak pinggang. Dia tertawa kecil, membuatku ingin muntah. Ah, tidak !! Melihatnya tertawa terasa menyenangkan. Tidak !! Aku mengejap-ngejapkan mata, kenapa aku ini ? Dari tadi kehilangan konsentrasi dan lupa tujuanku yang sebenarnya.

“Aku tau kamu nggak pengen dipanggil cicak lagi” dia seperti mengerti isi hatiku. “Juga nggak mau kuganggu lagi” dia menoleh ke arahku dan aku mengangguk mengiyakan. “Baik, aku akan melakukannya” pandangnya beralih lagi ke arah lain.

“Ahh, makasih. Sebelumnya aku minta maaf karena tempo hari sudah marah-marah”

“Ah, nggak. Saat itu, aku bisa melihat sisi lain dari kamu. Sisi marah-marah” dia menerawang sambil tersenyum.

“Aku juga melihat sisi lainmu hari ini” ujarku. Mati aku, seharusnya aku tidak mengucapkan kata-kata itu.

“Oh, ya ? Sisi yang mana ?”

Aku mencari-cari jawaban yang bagus, “Sisi yang bisa kujadikan teman”

“Itu nggak adil” bantahnya.

“Kenapa ?”

“Karena aku tau semua tentang kamu dan kamu nggak tau apa-apa tentangku”

“Mungkin karena aku terlalu populer” sanggahku. Dia memutar bola matanya ke atas dan kuterjemahkan sebagai “Ayolah, jangan bercanda deh”.

“Untuk itulah kita temenan, biar aku tau lebih banyak tentangmu”.

“Valysha” gumamnya padaku. Dari caranya mengucapkan namaku dan memandangku, aku merasa aneh. Seperti sudah pernah kudengar sebelumnya. Belum habis rasa kagetku, dia berujar lagi.

“Kamu lupa padaku ?” tanyanya sekarang.

Aku memperhatikannya baik-baik. Mengingat-ingat orang yang pernah kukenal. Aku benar-benar tidak punya clue untuk menebak siapa dia sebenarnya. “Well, nama itu hanya dikenal oleh teman masa kecilku dulu. Kamu bukan salah satu dari mereka, masa kecilku tertinggal di kota lain” ujarku.

Dia menghela napas panjang, “Kupikir ini akan jadi reuni yang menyenangkan, ternyata nggak” terdengar nada kecewa dalam suaranya.

“Aku tidak pernah melupakan nama teman-temanku. Diantara mereka tidak ada yang bernama Ferdi”, aku benar-benar tidak sabar lagi.

“Kalau Anan ? Ananda Ferdi Setiawan ?” selidiknya.

Aku mengusap-usap hidungku sambil tertawa. Kami tertawa berbarengan. Anan, temanku saat SD dulu, kami telah terpisah selama 7 tahun. Bagaimana mungkin aku lupa. Surat cintaku yang pertama kuperoleh darinya, saat masih ingusan dulu. Tapi tunggu dulu, tega sekali dia mengelabuiku selama ini.

“Kenapa nggak dari dulu ngomongnya ?” tanyaku kesal.

“Kamu nggak nanya” dia memamerkan gigi putihnya. “Gimana ? Kaget kan ?”

“Iya, kaget banget nyamuk !! Nyamuk nakal yang nggak tau diri. Ngusilin orang seenaknya” kupukuli punggungnya dengan tanganku sampai dia menjerit-jerit minta ampun. Huh, rasakan kekesalanku ! Salahmu sendiri datang dan pergi seenaknya. Selalu begitu dari dulu, begitu aku menerima surat cinta sialan itu dia juga menghilang. Tujuh tahun kemudian dia kembali lagi dengan wajah seperti ini tanpa tau betapa dulu aku sempat mencarinya kemana-mana hanya untuk membalas suratnya. Dia memang benar-benar nyamuk yang mengganggu malam-malamku. Makhluk tengik yang tidak membiarkanku tidur dengan tenang. Lihat saja nyamuk, kali ini aku pasti menangkapmu !!

Cerpen yang tertunda selama 7 tahun

Dangung-dangung, 2004

Jogja, August 6th 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar