Total Tayangan Halaman

Selasa, 16 November 2010

Riani, Masihkah Kau Seperti Dahulu ?? (Part II)

Terpaku !!!

Selalu jadi gaya utamaku saat terkejut. Tak bisa kualihkan pandangan dari sosok semampai di seberang sana yang dengan lucu menggoyang-goyangkan kuciran ekor kudanya. Ah, tunggu ! Pasti hanya bayanganku saja, jadi sudahlah..aku pun berlalu. Segera Dita menemuiku dan menggamitku keluar dari studio tempat pemotretannya, melenggang berdua menembus panasnya tengah kota.

Berminggu-minggu setelahnya, Dita mengajakku hadir di acara ulang tahun temannya sesama model. Di sana aku terpaku lagi, tapi secepat mungkin menyadarkan diri. Sama seperti waktu itu, aku hanya melihat punggungnya dan aku tau tak salah lagi. Pasti dia ! Demi menyadari keberadaannya, merinding rambut di tengkukku, menjalar rasa takut seketika ke ujung-ujung kapiler di tubuhku. Kutinggalkan Dita di meja, berbohong mengatakan ingin ke kamar kecil.

Bergumam perlahan bibirku, Tuhan tolong ijinkan garis hidupku bersinggungan lagi dengannya. Dan Tuhan memang masih berbaik hati padaku. Lihatlah, itu Riani(ku) !! Aih, tak boleh lagi aku mengucapkannya begitu. Semenjak siang yang menelanku bulat-bulat itu, sudah susah payah kusembuhkan hati yang lemah ini. Aku bangkit lagi, mencintai dan dicintai. Sudah kuikatkan hatiku pada Dita, Riani hanya masa lalu, sudah bukan apa-apa lagi. Hah, dengan pikiran seperti itu masih deras langkahku melaju. Sederas itu pula Riani memalingkan wajah tepat ke batang hidungku. Tidak ada rasa kaget, biasa saja, tidak ada ekspresi apapun, tidak ada lagi tatapan terluka. Aku yang tidak biasa, aku yang penuh ekspresi.

Kusapa ia sebiasa mungkin, sedatar mungkin. Dia tersenyum wajar dan segera berpamitan pergi dengan lelaki yang menggenggam tangannya. Ganti aku tersenyum kecut dan membuyarkan semua pikiran bodohku, tentu saja waktu tiga tahun lebih dari cukup untuk menggantikan posisiku. Apa yang kuharapkan ? Berharap Riani masih memujaku ? Aku menertawakan diri sendiri dan kembali ke meja tempat Dita kutinggalkan. Sudah saatnya egoku dijinakkan dan dikembalikan ke point awalnya lagi, manajemen ekspektasi.

Beberapa hari berikutnya kukubur lagi semua ingatan tentang Riani. Sudahlah, mantapkan saja pada satu gadis. Kubandingkan ia dan Riani, Dita sempurna, polesan make-up nya rata, selalu elegan, fashionable, model pula dan calon notaris. Riani ?? Setengahnya saja tidak, make-up nya selalu tipis, gayanya casual, jauh dari hiruk pikuk fashion dan entah apa kariernya. Kugelengkan kepala kuat-kuat, mengapa harus kubandingkan dua hal yang jelas berbeda. Mereka punya satu kesamaan, matanya mirip, tapi mata Riani lebih polos. Alasanku memilih Dita, memang matanya yang menawanku. Bah, aku bangkit berdiri dengan keras, benci masih terus dibayangi hal ini.

Sore yang sempurna, tak sengaja lagi mataku bertubrukan dengan mata bundar itu. Ya, Riani. Di salon langganan Dita, seperti biasa aku yang menjadi sopirnya. Kebetulan sekali-aku tak percaya kebetulan sebenarnya-, Riani ada di salon yang sama. Ternyata dia ke salon juga, aku tak tahu kalau sekarang dia tertarik pada hal-hal seperti itu. Tidak kulewatkan kesempatan ini, sementara Dita masih melakukan entah apa di dalam sana, kuajak Riani ngobrol di kafe sebelah. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan, aku hanya ingin saja.

“Kau pergi begitu saja” kaku sekali aku berujar.

“Kau tak pernah mengejarku” mukanya berubah serius.

Aku meraba-raba matanya terpana “Aku tak tahu kau ingin aku begitu”

Riani tergelak, kunciran rambutnya bergoyang lagi, anak rambutnya beterbangan. Anak rambut yang dulu sering kubantu merapikannya. Hush, pikiran ini selalu membawa anganku kemana-mana.

“Aku hanya bercanda” katanya

“Maafkan aku Riani” kataku

“Untuk apa ?”

“Untuk semuanya”

Riani memalingkan wajah, menghela nafas “Tidak perlu, aku belajar banyak dari rasa sakit untuk menguatkan kaki dan hati. Lagipula, itu hanya kenakalan kita di masa remaja”

Aku kehabisan topik sebenarnya, “Ah, ibu bagaimana?”

“Sudah meninggal 3 tahun yang lalu. Hari itu, aku tak sempat mengatakannya padamu”. Alang kepalang aku tersentak, tak bisa kusembunyikan. Merasa bersalah tidak enak sama sekali. Di hari aku melukainya, dia kehilangan Ibu untuk selamanya. Nada datar suaranya justru menusuk ulu jantungku. Andai kau tau Riani, kemana-mana aku mencarimu. Apakah masih kau ingat aku, apakah kau masih seperti dulu. Tentu saja tak akan kuucapkan semua kata-kata konyol itu, bisa-bisa dia tertawa.

“Maaf”

“Jangan terus-terusan minta maaf, kau sudah ku maafkan, karena kau temanku”

Teman katanya, jelaslah sudah aku dianggap temannya. Senang, karena paling tidak, dia masih mau bicara padaku, kecewa, karena..

“Aku pindah kota, beberapa kali dan sekarang aku di sini, diajak adikku sebenarnya” suaranya memotong lamunanku.

Aku mengangguk maklum “Bolehkan kita bertemu lagi ??”

Riani hanya tersenyum.

“Eh, laki-laki yang malam itu pa-tak sanggup kuucapkan kata pacar- eh..teman dekatmu”

Lagi Riani tersenyum sambil menelengkan kepalanya ke bahu, kunciran rambutnya bergoyang lagi. Darahku berdesir kencang.

“Kalau kau mau mampir, aku tinggal di sekitar sini, tapi rumahku sepi, aku hanya sendiri” Riani pun berlalu diiringi pandangan mataku yang masih was-was.

Diam-diam aku lega, paling tidak Riani belum menikah. Tadi aku tidak salah dengar ‘kan bahwa dia tinggal sendiri. Walaupun Riani sama sekali tak bertanya kabarku-hei, bahkan tak menanyakan sedang apa aku di salon. Bertemu dengannya, memohon maaf, tau alamatnya, ngobrol sebentar sudah melegakan. Entah pikiran macam apa itu, mungkin orang-orang yang jatuh cinta sendirian pasti tahu perasaanku sekarang. Tapi yang mereka tidak tahu, orang yang jatuh cinta dalam diam pada akhirnya akan mati sendirian. Biar saja, tak ada salahnya orang jatuh cinta. Tak perlu ditanya lagi apa Riani masih seperti dahulu, aku tahu jawabannya absolut tidak. Dia melupakanku. Apa kabar hatiku ??

Hah, Dita masih di salon !!!



Jogja & Bandung

November 2010

Di tengah kemelut Merapi

Untungnya pertanyaanku setahun terakhir sudah terjawab pasti, iya kan Riani..

=)

also published in facebook.com/yunriska.rona

Tidak ada komentar:

Posting Komentar