Total Tayangan Halaman

Minggu, 07 Agustus 2011

SELAMAT TINGGAL TANPA UCAPAN

Tekanan darah menurun drastis seperti lift, mencapai 92/75 mmHg, denyut nadi 54 per menit. Keluar dari ruangan dokter, senyumku masih bisa mengembang walaupun pahit.

“Darah rendah lagi ?” tanyanya begitu aku duduk di depan bagian farmasi untuk menunggu obat. Aku mengangguk lemah dan masih tersenyum pahit.

“Ke dokter Hermawan ?” godanya nakal. Aku memalingkan muka masam ke arahnya.

“Jangan bercanda, dokter Her itu spesialis penyakit dalam”.

“Bukankah darah ada di dalam ?”.

“Benar, ayo ke rumah sakit. Kita ke dokter Hermawan, sekalian bertanya, dia sudah punya istri atau belum. Waktu itu belum sempat” aku berdiri sekarang.

Dia menutup senyum dengan jarinya, “Ah, kau benar-benar sakit ternyata. Tidak bisa diajak bercanda. Ayo, duduk lagi. Kita tunggu dulu obatnya”, ujarnya sambil menepuk-nepuk kursi di sebelahnya.

Aku duduk lagi, menjauh satu kursi darinya, “Kita tidak perlu menunggu obatnya, nanti juga tidak akan ku minum”.

“Lalu, kapan sembuhnya ?”

“Cukup makan dan minuman sehat juga pulih kok. Susu, telur, daging dan teman-temannya”

Sejenak dia berpikir, “Ah, dasar keras kepala. Kita buat kesepakatan saja. Kalau obatnya hanya vitamin, kita ambil, tapi kalau bukan, boleh dibuang”

“Deal” sahutku cepat. Dan kali ini dugaannya benar, vitamin. Mau tidak mau harus kuambil dan kuminum nanti.

“Masih melanjutkan puasa ?”

“Ya, ini bukan masalah besar. Nanti tinggal istirahat”

“Mmhmm. Ada yang ingin kubicarakan, sebelum aku mengantarmu pulang”

Kepalaku masih nyut-nyut an, tapi aku juga punya beberapa hal untuk dikatakan. Kami menuju kampusnya, duduk di bawah gazebo di halaman samping.

“Jangan pasang, tampang serius seperti itu. Aku takut melihatmu”, dia menyikut tanganku pelan. Tubuhku yang terbalut jaket tebal pun terhuyung-huyung karena kepalaku masih pusing. Aku tidak bisa mengendalikan tubuhku sendiri. Aku hampir menghantam sudut meja ketika akhirnya dia menarik lengan jaketku.

“Kita pulang saja. Kalau seperti ini, bukan hanya tubuhmu yang sakit, mungkin kepala dan hatimu juga”

Aku mencoba berdiri kembali mencapai keseimbangan dan duduk bersandar di kursi. “Tidak, aku masih ingin di sini”

Dia ikut duduk di sebelahku, “Ini tidak seperti dirimu. Diajak bercanda tidak menanggapi. Biasanya sesakit apapun, kau tidak akan mau kalah, pasti akan selalu membalasku. Selalu marah-marah kalau kalah”

Aku menelan ludah, pahit. Tenggorokanku terasa kering “Ya, mungkin begitu. Aku sudah memikirkannya..Ah, tapi nanti saja kukatakan. Sekarang aku ingin memberimu selamat dengan baik dan benar. Selamat atas karya terbarumu. Maaf terlambat, seharusnya sudah kukatakan dari beberapa hari yang lalu”, aku mengulurkan tangan. Dia menyambutnya, lemah dan melepaskan lagi.

“Terima kasih. Aku marah, orang-orang sudah menyelamatiku dari 3 hari yang lalu. Ucapanmu terlambat, terlebih tidak ada kabar, tidak ada sms atau telpon” raut mukanya masih tersenyum.

“Marahlah, aku akan balik marah. Siapa suruh tidak punya akun facebook, aku ingin sekali mengucapkannya di depan banyak orang”

“Ucapkan saja sekarang, nanti kita sebar videonya di internet”

Kami tertawa berbarengan. “Aku belum memaafkanmu” ujarnya lagi.

“Hei, aku menemanimu dari awal sampai akhirnya karyamu berhasil. Aku hanya melewatkan bagian publikasinya”, aku masih mencoba membela diri. “Bagaimana caranya agar aku dimaafkan ?”

Dia tidak menjawab, tetapi menendang kerikil di bawah meja sampai membentur pohon mahoni. “Kau tau caranya”

“Aku tidak tau”

“Kau tau”

“Tidak. Bagaimana mungkin aku tau”

“Kau pasti tau”

“Sampai kapan kita akan berdebat seperti ini ?” aku memukul-mukul meja.

“Sampai kepalamu sehat untuk berpikir jernih”.

Aku memijit-mijit kening, “Dengar, ini tidak seperti yang kurencanakan”

“Aku tidak mau dengar. Kau yang kukenal, seperti kayu besi dari Kalimantan. Kuat dan menakutkan”

“Kayu besi tidak kuat, masih bisa berkeping karena kampak. Baja lebih kuat” protesku.

Dia menggeleng. “Kayu besi kuat dan berguna sebagai bahan bangunan. Sekalipun dikampak, bekasnya akan terlihat jelas, saksi betapa kuatnya dia. Kau seperti itu, lukamu yang terlihat membuat orang merasa semakin bersalah. Tetapi di saat yang sama, tidak mau dibantu karena sudah cukup kuat untuk bertahan dengan caramu sendiri. Kau bukan baja, karena baja tidak hidup”.

“Lalu sekarang aku seperti apa ?”.

“Aku harus jujur atau bohong ?”.

Dedaunan jatuh di antara kami, “Terserah maumu saja”.

Dia melemparkan daun di depannya ke pangkuanku “Setidaknya berusahalah merayuku”.

“Perempuan tidak merayu lelaki”, kulemparkan lagi daun tadi ke arahnya.

“Ah, benar. Kapan aku akan menang berdebat denganmu ? Apakah akan ada kesempatan lain untuk itu ?”, dia menghela napas berat.

“Sejak dari tadi, sudah beberapa kali aku kalah”

“Tapi aku menang karena kau sedang tidak berada dalam kondisi “kayu besi”. Kalau kukatakan, kau seperti pasir di pantai. Sekeras apapun usahaku untuk membuatmu jadi bangunan utuh, tapi pasir tetap rapuh. Retak-retak dan rapuh. Dalam kondisi seperti itu, gampang sekali mengalahkanmu. Kemenanganku menjadi tidak berarti”.

“Aku seperti pasir di pantai mana ?” tanyaku antusias.

“Apakah itu penting sekarang ?”

Aku mengangguk cepat. Dia menggeleng melihat tingkahku.

“Pasir di Parangtritis”

“Tidak mau. Pasirnya hitam, aku mau jadi pasir di pantai Gunung Kidul”, aku protes lagi.

Dia tertawa, “Baiklah, pasir di Krakal”

“Deal”, aku ikut tertawa. Kami terdiam sejenak.

“Gampang sekali meyakinkanmu. Padahal aku ingin berdebat”

“Kita hanya akan membuang-buang waktu. Padahal belum tentu kita punya waktu lagi”

Dia menoleh cepat ke arahku. Sebelum dia membuka mulut, aku sudah menyambar lagi, “Aku sudah membuat keputusan”

“Itulah kenapa aku tidak bisa memaafkanmu. Apapun yang kukatakan tidak bisa menahanmu. Sekalipun aku mencegahmu, kau tetap akan pergi”

“Benar, jangan menahanku tetap di sini. Karena akan lebih mudah jika kita tidak usah mengatakan apa-apa. Jangan khawatir, aku akan sering menelponmu nanti”

Matanya masih menatapku tajam, “Tetap tidak akan sama dengan keberadaanmu di sini”

“Teman tidak selalu harus bersama dan tidak selalu harus sependapat”, ujarku. Aku terkejut dengan kata-kataku sendiri. Teman ? Kapan aku memutuskan hal ini ? Apakah dalam mimpi semalam ?

“Teman ? Jadi aku ini turun pangkat menjadi temanmu ?”

“Akan lebih mudah seperti itu. Mungkin aku akan lebih berguna di sana dan kau akan lebih berguna di sini. Begitulah yang sedang terjadi”

“Lihatlah, hanya memikirkan antara tetap di Jogja atau pulang ke Padang saja, tekanan darahmu langsung anjlok seperti itu. Apa jadinya kau di masa depan? Pasir Krakal..” desisnya.

“Aku memikirkan lebih dari itu..”

“Jangan beritahu apapun pikiranmu padaku. Ayo kuantar pulang” dia bangkit berdiri.

Sepanjang jalan kami diam, aku tidak berani bicara, karena tidak akan didengarkan. Dia juga tidak mengatakan apapun, karena dia tau saat ini kata-katanya tidak akan mampu menahanku.

“Istirahatlah. Cepat sembuh. Aku tidak datang di wisudamu. Juga tidak akan mengantarmu ke bandara saat kepulanganmu nanti”

“Kau benar-benar tidak memaafkanku. Dengar, keputusanku..” dia mengangkat tangannya menyuruhku diam. “Begitulah caraku memaafkanmu. Sekarang masuklah. Jangan katakan apa-apa lagi”.

Jadi beginilah perpisahanku. Ucapan selamat tinggal yang tidak terkatakan ternyata begini rasanya, batinku. Apakah ini kepura-puraan bahwa semuanya baik-baik saja, atau memang semuanya baik-baik saja ? Tidak tau. Aku tidak mau tau.

“Baiklah, aku akan bersiap-siap untuk pulang dan membereskan segalanya di sini. Terima kasih atas...”

“Sesama teman tidak mengucapkan terima kasih. Aku pulang”, dia berbalik dan menjauh dari mataku.

“Salam buat Ibu..” kataku cepat. Dia hanya mengangkat tangan tanpa menoleh padaku. Entah itu artinya “akan kusampaikan” atau “tidak akan kusampaikan”.

Aku tidak tau, apakah ini cara kami sebagai orang dewasa atau cara ini terlalu kekanak-kanakan. Aku yakin, jika nanti lain kali kami bertemu dalam suatu kesempatan, keadaannya akan jauh lebih baik dibandingkan saat dia bersamaku. Sehingga aku tidak akan menyesali keputusanku. Begini lebih baik, tanpa selamat tinggal ataupun selamat jalan, tanpa kata-kata apapun dan yang lebih penting tanpa tangisan.

Jogja, August 5th 2011

As you say, everything has its time

And, it’s my turn

Everything happen is my fault

It’s hard to stay and hard to leave

Also hard to say goodbye

Moreover, hard to convince you as well

I’ll keep that nickname, “Krakal sand”

published also in : http://facebook.com/yunriska.rona

2 komentar: