Total Tayangan Halaman

Selasa, 19 April 2011

Skripsi, Dokter Hermawan dan Lelaki di Sampingku

Kian hari aku makin tenggelam dalam penelitian dan naskah skripsiku. Bahkan aku meminta waktu untuk diriku sendiri pada lelaki yang biasanya ada di sampingku. Kali ini aku benar-benar ingin hanya ada aku dan skripsi, tentu saja dengan dia di dalam sini, di hati. Hari berikutnya, kebosanan melanda, kelompokku bertambah, ada aku, skripsi, dia yang di hati dan rajutan. Hari berikutnya anggotaku bertambah satu lagi, aku, skripsi, dia di hati, rajutan dan perselancaran di dunia maya. Huft, kupikir seperti ini sudah sangat cukup. Beberapa hari bertahan seperti itu.

Hari ke-tujuh teleponku berdering. “Hah, dia menelponku”, hatiku menjerit senang dan ragu-ragu. Akhirnya, hari ini komplotanku bertambah satu lagi, aku, skripsi, dia yang di hati sekaligus di sampingku lagi, rajutan dan dunia maya. Sejenak ku lepaskan kepenatan untuk menemaninya ke rumah sakit. Awalnya hanya di dokter umum, tapi kemudian dirujuk ke bagian penyakit dalam. Anak itu diduga mengidap paru-paru basah. Dan dia tidak merasa bersalah sama sekali. Katanya dia tidak pernah keluar malam, toh dia hanya berkeliaran di siang hari. Tapi aku bersikeras, penyebabnya adalah kebiasaannya yang jarang memakai jaket saat naik motor.

Tapi katanya lagi, ”Toh kita hidup di negara tropis, panas seperti ini kenapa harus pakai jaket segala”.

Aku tidak mau kalah, “Justru itu, kita memang di negara tropis. Tapi jangan lupa, iklim tropis itu tipikal memang hangat tapi kelembapannya tinggi. Kita memang tidak melihat uap air melayang-layang di udara, tapi kalau diukur dengan higrometer pasti angkanya di atas 80%”. “Tapi kan aku bepergian juga kalau matahari sudah muncul” “Tapi kan jarak tempuhmu beberapa bulan kemarin juga jauh, siapa suruh penelitian skripsi jauh-jauh”

“Itu kan hanya 2 bulan dan bukan setiap hari. Lagipula...”

Perdebatan yang tidak berujung itu akhirnya berakhir setelah namanya dipanggil ke ruangan dokter. Tanpa diminta aku ikut walaupun dia berbicara ganas “Jangan ikut, nanti kalau pemeriksaannya mengharuskanku buka baju bagaimana”

Kubalas dengan kata-kata yang lebih sangar “Aku akan tutup mata, tutup telinga, tutup hidung dan tutup mulut !!” sambil duluan merangsek ke ruangan dokter.

Aahh, dokternya. Dokter yang merawat aku saat opname gara-gara demam berdarah tahun 2008 silam. Mungkin dia tidak mengingatku, tapi aku belum lupa. Langsung kusapa, “Dokter, masih ingat saya yang dulu blah blah blah blahhhhh”, kuceritakan sedetail mungkin. Awalnya sang dokter agak ragu, tapi kemudian mengingat-ingat dengan keras, “Oh, Mbak yang dulu yang banyak ulah, tentu saya ingat. Mbak yang cerewet kalau diambil darahnya, yang makannya susah, dipasang infus juga bawel, disuntik apalagi”

Jdeeeennnggg, kenapa itu sih yang diingat, wahai dokter yang tampan. Lelaki di sampingku tidak bisa menahan tawanya dan memberikan tatapan yang menghina sedemikian rupa. Aku tidak bisa tertawa, tidak bisa menangis juga, hanya menyengir kuda. Bagaimanapun kata-kata dokter tersebut memang tidak terbantahkan.

“Anda berubah sekarang, jadi saya agak tidak mengenali anda tadinya” ujar dokter tersebut tiba-tiba.

Kepalaku mendongak otomatis. Tolong katakan aku lebih cantik, teriak hatiku. Tapi yang keluar dari pita suaraku, “Oh ya, berubah apanya dokter ?”

“Sekarang anda lebih cantik”, dokter Hermawan tersenyum ke arah kami berdua.

“Yes”, hanya dalam hati aku berkata seperti itu. Di sisiku dan di sisi dokter Hermawan matahari sedang bersinar. Di sisi lelaki di sampingku, sedang musim hujan badai. Haha.

Dan setelah segala pemeriksaan, diagnosanya masih belum jelas. Dugaan sementara memang paru-paru basah, tapi tidak parah. Kata dokter Hermawan, masih bisa dikategorikan gangguan saluran pernapasan sedang. Asalkan tidak “mandi angin” ria dan melindungi tubuh dengan pakaian yang bisa menjaga tubuh tetap hangat, lelaki di sampingku itu tidak akan apa-apa. Huh, apa kataku. Mengapa harus gengsi sekali hanya untuk mengakui bahwa beberapa argumenku benar.

Ketika di lapangan parkir, aku menepuk bagian kepalaku yang tertutup helm. “Astaga, aku lupa sesuatu ! Kita harus kembali ke ruangan dokter tadi !”

“Apa ? Kenapa kamu selalu ceroboh seperti itu”, masiiihhhhhh saja protes.

“Aku lupa bertanya apakah dokter Hermawan sudah menikah atau belum. Itu pertanyaan yang kusimpan sejak 3 tahun yang lalu”, aku benar-benar ingin menggoda orang yang di sampingku ini sekarang.

Dia tidak menjawab apa-apa. Hanya menurunkan kaca helmku dengan kasar. Sampai-sampai rasanya bintang dan burung-burung berputar-putar mengelilingi kepalaku.

“Dasar !!”

Mulutku memang hanya tertawa, tapi sekali lagi, aku tidak akan kalah. Kuambil buku Basic and Clinical Endocrinology karya Greenspan yang tebalnya lebih dari 400 halaman dengan edisi hard cover. Kuangkat setinggi yang kubisa dan kutimpukkan di puncak kepalanya yang tertutup helm.

Dia tidak bereaksi, tapi kemudian menoleh padaku dan, “Apa itu ? Rasanya aku ingin pingsan..”, kemudian terduduk di tanah. Aku hanya mendelik kesal, sepertinya mulai besok anggota gengku tidak akan berubah lagi, hanya ada aku, skripsi, rajutan dan dia cukup di hatiku saja. Kutunggu karyanya nanti, dan akan kuselesaikan pula karyaku secepat mungkin, sebulan atau dua bulan ini. Mari fokus dengan pekerjaan dan tugas kita masing-masing. Stay healthy and just do our best !!

Jogja, di tengah "crowded of thesis"

published also in :

facebook.com/yunriska.rona

Tidak ada komentar:

Posting Komentar