Total Tayangan Halaman

Selasa, 16 November 2010

Riani, Cinta Pertamaku (Part I)

Riani, gadis seklub fotografi denganku. Mata bulat dan senyum mengembangnya menghantuiku sepanjang dia tak ada. Gadis yang beberapa waktu terakhir mengisi hari-hariku. Hah, akulah pemenangnya, penakluk hatinya. Tentu saja, dari sisi manapun mustahil Riani tidak menyukaiku. Gadis lain saja mengekor padaku, bahkan sampai meneror, hanya demi mendengarku mengucapkan cinta pada mereka. Gadis yang satu ini berbeda, cenderung mengabaikan keberadaanku. Selalu sibuk dengan kamera analog jadulnya yang sering ngadat itu. Sibuk melihat-lihat majalah fotografi, atau sibuk membolak-balik album foto hasil jepretannya. Ah, kalian belum kuberitahu, aku tak tertarik fotografi sama sekali, lensa, tele, kamera, analaog, TLR, SLR, tripod, exposure, zoom, semuanya tidak secuilpun ku mengerti. Tepatnya, keberadaanku di klub demi mendekati gadis yang kusukai. Darah mudaku tertantang untuk memilikinya, kujadikan kekasih hati tentunya.

Ya, kalian benar, aku jatuh cinta padanya, pelan-pelan kujatuhkan hatiku untuknya. Aku menganggapnya cinta pertama, walaupun bukan pacar pertama. Tentu saja dengan wajah setampan ini, sudah pernah ada gadis lain dihidupku. Tapi tidak seperti kali ini, tidak pernah ada yang seperti Riani. Dia, gadis mandiri, sederhana, periang, mudah tersenyum, menarik tentu saja buatku. Dan matanya itu, mata bola, mata bundar yang selalu berbinar-binar. Setiap menatapnya, seakan aku ikut tenggelam dalam telaga bening di sana. Nanti kukenalkan saja kalian padanya, ah tapi tak mungkin rasanya. Atau kuperlihatkan saja fotonya, tapi tunggu, arsipku berantakan dan sudah tak tahu foto itu kemana. Pokoknya Riani menarik dari sisi manapun buatku. Aku membuang kesempatan untuk bersama gadis lain demi Riani. Hanya Riani, Riani dan Riani.

Sebelum siang yang terik itu merenggut Riani gadisku, dengan kejam dari genggamanku. Seorang teman menarikku dan mengingatkan perbincangan kami tahun lalu. Dia memberi ucapan selamat telah berhasil memiliki Riani, mengatakan bahwa akhirnya aku yang menang taruhan. Menang taruhan untuk bertahan di klub fotografi, menang taruhan jadian dengan Riani, menang taruhan untuk menjalani hubungan nyaris setahun. Dengan ego sebagai lelaki langsung kupongahkan diri, berkata bahwa tantangan ini biasa saja, bahwa Riani terlalu bodoh untuk mempercayaiku, bahwa Riani yang akhirnya tunduk padaku. Oh ya, maafkan aku yang pelupa ini, lupa menceritakan pada kalian. Aku bertaruh dengan teman-temanku yang lain untuk mendapatkan perhatiannya. Karena kami sependapat, Riani bukan gadis biasa. Kami memasang harga tinggi untuk itu, memang mahal harganya.

Jahat sekali, tetapi sebelum taruhan itu dimulai pun, sebenarnya sudah kucicil menenggelamkan diri dalam rasaku untuk Riani. Tapi yang mereka dan Riani tak tau, semakin bertambah hari, bertambah dalam pula samudera hatiku. Mudah sekali mencintainya, mudah sekali menyukainya, mudah sekali menyayanginya, namun sulit mengakuinya apalagi di depan orang lain, rasa gengsi menghalanginya. Walaupun tak semudah membuatnya jatuh cinta padaku. Rianiku, hidupnya tak seindah pancaran bola matanya. Dia harus merawat ibunya yang sakit-sakitan dan membiayai dua orang adiknya yang masih sekolah. Beberapa kali aku diajak menemui keluarganya, tidak ada kesan istimewa yang terpancar dari rumah sederhana itu. Tetapi setelah masuk kesana, nyatalah bagiku, mereka tak pernah mengeluh, dengan segala ketidaknyamanan yang mereka alami. Riani kepala keluarga di rumah itu, tulang punggung, tiang sandaran, figur ayah sekaligus ibu tanpa pernah mengeluh dan meminta bantuan siapapun. Gadisku memang hebat, dia jelas berbeda, aku sempat berjanji dalam hati takkan melukainya.

Perjuanganku mendapatkan hati Riani tidak akan semudah yang kukira, yaaa,,mungkin karena keberuntungan, aku mendapatkan peluang itu. Sebelum Riani, mendengar semua obrolan kami tentang taruhan, sebelum Riani sadar bahwa ia dipermainkan, sebelum Riani, sebelummm...Sudahlah, semuanya terlambat, aku telah didahului waktu. Astaga, apa yang harus kulakukan, sudah pasti tak ada lagi kepercayaan yang ia berikan padaku. Dia berlari sekencang-kencangnya, melarikan duka dan kecewanya dan entah apalagi yang kubuat untuknya.

Pandangan mata Riani, tepat menghujamku, mengirimkan beribu-ribu bilah sembilu, menancap dan menyayat hatiku. Mata yang selalu kupuja itu kini mengirimkan tatapan terluka yang tak sanggup ku melihatnya. “Kau tak pernah memiliki hatiku, tak akan, kau hanya memenangkan ragaku”. Dan gadisku pun menjauh meninggalkanku tergugu. Aku baru saja melukainya, menikamnya, meruntuhkan duniaku dan dunianya. Sia-sia, tak sempat kujelaskan apapun. Rianiku, berbaliklah walau hanya sekali, tolong kembalikan hatiku terlebih dahulu. Tapi Riani acuh, tidak pernah berbalik padaku, tidak juga menoleh barang sebentar.....

Sentuhan lembut di pundak dan suara bisikan mengagetkanku, “Sayang, kita pergi sekarang ?”

Tergagap ku jawab dengan wajah sumringah “Ri...” serta merta aku tersentak sendiri, di depanku bukan Riani, dia Dita, gadisku yang baru. Dita berkerut heran dan merengut pergi meninggalkanku. Persis seperti saat Riani pergi dariku, bertahun lalu..Riani, aku masih tak utuh, masih kau bawa hatiku..

Also published in : facebook.com/yunriska.rona

Tidak ada komentar:

Posting Komentar